Analisis
Ekonomi Atas Perkembangan Hukum Bisnis Indonesia
Suatu
masyarakat yang sehat cenderung memilih atau menciptakan hukum-hukum yang dapat
mempromosikan efisiensi ekonomi. Untuk mengukur apakah hukum yang dipilih atau
diciptakan turut mempromosikan efisiensi ekonomi, maka diperlukan pendekatan
terhadap hukum yang tidak semata-mata hukum an sich. Oleh karena itu tulisan
ini membahas suatu pendekatan terhadap hukum yang semakin hari semakin
berkembang, yakni “Economic Analysis of Law”.
Dalam
tulisan ini juga dikemukakan perkembangan Economic Analysis of Law di
Indonesia, serta beberapa contoh aplikasi, sehingga dapat dilihat bahwa
pendekatan ekonomi atas hukum memang relevan dan bermanfaat bagi perkembangan
hukum di Indonesia. Dalam hal ini secara umum fokus pembahasannya adalah
mengenai fenomena-fenomena yang menjadi kecenderungan di bidang hukum bisnis,
yang secara implisit maupun eksplisit dapat menimbulkan ketidakefisienan (inefficient).
Kecenderungan-kecenderungan tersebut berkenaan dengan diwajibkannya pelibatan
profesi hukum tertentu dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan
perundang-undangan, ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga
pendukung di bidang hukum bisnis, serta adanya ketidakharmonisan antar
peraturan perundang-undangan.
Analisis Ekonomi Atas Hukum
Bidang
Analisis Ekonomi Atas Hukum, atau yang umumnya dikenal sebagai “Economic
Analysis of Law” dianggap muncul pertama kali melalui pemikiran utilitarianisme
Jeremy Bentham (1789), yang menguji secara sistemik bagaimana orang bertindak
berhadapan dengan insentif-insentif hukum dan mengevaluasi hasil-hasilnya
menurut ukuran-ukuran kesejahteraan sosial (social welfare). Pemikiran
utilitarianisme hukum Bentham tersebut tersebar dalam tulisan-tulisannya berupa
analisis atas hukum pidana dan penegakannya, analisis mengenai hak milik (hukum
kepemilikan), dan ’substantial treatment’ atas proses-proses hukum. Namun
pemikiran ala Bentham tersebut mandeg sampai tahun 1960-an, dan baru berkembang
pada awal tahun 1970-an, dengan dipelopori oleh pemikiran-pemikiran dari Ronald
Coasei (1960), dengan artikelnya yang membahas permasalahan eksternalitas dan
tanggung jawab hukum; Becker (1968), dengan artikelnya yang membahas kejahatan
dan penegakan hukum; Calabresi (1970), dengan bukunya mengenai hukum
kecelakaan; dan Posner (1972), dengan buku teksnya yang berjudul “Economic
Analysis of Law” dan penerbitan “Journal of Legal Studies”.
Secara
garis besar Analisis Ekonomi Atas Hukum menerapkan pendekatannya untuk
memberikan sumbangan pikiran atas dua permasalahan dasar mengenai aturan-aturan
hukum. Yakni analisis yang bersifat ‘positive’ atau ‘descriptive’, berkenaan
dengan pertanyaan apa pengaruh aturan-aturan hukum terhadap tingkah laku orang
yang bersangkutan (the identification of the effects of a legal rule);
dan analisis yang bersifat ‘normative’, berkenaan dengan pertanyaan apakah
pengaruh dari aturan-aturan hukum sesuai dengan keinginan masyarakat (the
social desirability of a legal rule). Pendekatan yang dipakai Analisis
Ekonomi Atas Hukum terhadap dua permasalahan dasar tersebut, adalah pendekatan
yang biasa dipakai dalam analisis ekonomi secara umum, yakni menjelaskan
tingkah laku, baik manusia secara perorangan maupun perusahaan-perusahaan, yang
berwawasan ke depan (forward looking) dan rasional, serta mengadopsi kerangka
kesejahteraan ekonomi untuk menguji keinginan masyarakat.
Steven
Shavell, professor di Harvard Law School, menjelaskan lebih lanjut mengenai analisis
yang bersifat deskriptif dan normatif dari Analisis Ekonomi Atas Hukum dengan
mengemukakan manfaat atau tujuan akhir dari analisis dimaksud. Dengan analisis
deskriptif dapat dikatakan rasional, bilamana orang bertindak untuk
memaksimalkan tujuan atau keuntungan yang diharapkannya. Sebagai contoh adalah
pertanyaan mengapa orang sangat berhati-hati dalam mengendarai kendaraannya,
walaupun misalnya orang tersebut mempunyai asuransi, dapat dijawab dengan
kemungkinan bahwa ia tidak mau mengalami luka akibat kecelakaan, adanya
ketentuan mengenai tanggung jawab atau adanya resiko diajukan ke pengadilan.
Sedangkan dengan analisis normatif dapat diterangkan bahwa satu aturan hukum
tertentu lebih baik dari aturan hukum lain bilamana memberikan level tertinggi
bagi ukuran kesejahteraan sosial. Contoh yang dapat diberikan misalnya bilamana
masyarakat menghendaki untuk meminimalisasi jumlah kecelakaan lalu lintas, maka
aturan hukum yang terbaik adalah yang memberikan hukuman atau sanksi bagi
penyebab-penyebab kecelakaan.iv
Perkembangannya
sekarang, Analisis Ekonomi Atas Hukum tidak terbatas pada dua permasalahan
dasar sebagaimana dijelaskan di muka, namun meluas pada setiap penggunaan
prinsip-prinsip ekonomi terhadap permasalahan-permasalahan hukum dan kebijakan
publik.
Hal
ini dapat dilihat dari pengertian Economic Analysis of Law yang diberikan oleh
William and Mary School of Law dalam ensiklopedia onlinenya sebagai berikut :
Perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum Di Indonesia
Tidak dapat dipungkiri bahwa unsur ekonomi dalam
pembuatan kebijakan, baik pada tingkat pembentukan, implementasi maupun
enforcement peraturan perundang-undangan telah sangat berpengaruh di Indonesia.
Secara resmi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menetapkan salah satu arah
Kebijakan Program Pembangunan Nasional Bidang Hukum, yakni mengembangkan
peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam
menghadapi era perdagangan bebas. Tentunya arah kebijakan tersebut merupakan
satu indikator kuatnya pengaruh atau tujuan ekonomi dalam perkembangan hukum di
Indonesia.
Memang secara teoritis konseptual, aliran Analisis
Ekonomi Atas Hukum belum fenomenal dan melembaga di Indonesia, sebagaimana
menimpa juga aliran-aliran hukum lain. Sehubungan dengan gejala tersebut,
relevan mengemukakan pendapat Ifdhal Kasim, bahwa di Indonesia kajian-kajian
yang merupakan kritik-teori atau doktrin atas suatu paradigma atau pendekatan
tertentu dalam kajian hukum kurang berkembang. Ahli-ahli hukum di Indonesia
kurang bergairah dalam melakukan penjelajahan teoritis atas berbagai paradigma
dalam ilmu hukum atau taking doctrine seriously. Meskipun demikian
perbincangan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum bukannya sama sekali tidak
ada.
Hal ini dapat dilihat misalnya dalam teks oratio dies Universitas Katolik
Parahyangan Bandung pada tahun 1995, dengan mengemukakan kerangka berpikir :
- Berdasarkan
pengamatan empiris upaya perlindungan lingkungan yang hanya digantungkan
pada penggunaan instrumen hukum (legal instruments) terbukti kurang
efektif.
- Praktek-praktek
perlindungan lingkungan di negara lain, ternyata sudah menerapkan konsep
mixed-tools of compliance, dimana instrumen ekonomi (economic instruments)
merupakan salah satu insentif yang membuat potensial pencemar mematuhi
ketentuan Hukum Lingkungan.
- Terdapat
ketentuan dalam peraturan perundang-undangan bidang lingkungan hidup yang
memberikan dasar hukum yang kuat untuk menerapkan konsep mixed-tools of
compliance.vii
Konsern atas pendekatan ekonomi terhadap hukum juga
diberikan oleh Thee Kian Wie, yang menekankan perlunya aspek ekonomi
diperhatikan dalam implementasi UU No. 5/1999 dengan mengemukakan bahasan
pengkategorian monopoli, persaingan tidak sehat, kartel, price fixing, market
division, merger, cross-shareholding, dan sebagainya. Tidak
kalah menariknya juga pembahasan Heru Supraptomo terhadap Hukum Perbankan
dengan pendekatan ekonomi.
Sambil mengutip pendapat Posner, ia menyatakan bahwa
:
“
ilmu ekonomi merupakan suatu alat yang tepat (a powerfull tool) untuk melakukan
analisis terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang terjadi di lingkungan
kita. Pendekatan analisis ekonomi terhadap hukum ini belum berkembang di
Indonesia. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran ataupun dasar-dasar ilmu
ekonomi sudah diterapkan dalam membentuk ketentuan-ketentuan dalam hukum
perbankan. “
Berdasarkan
pembahasan tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa keinginan untuk
melibatkan prinsip atau teori ekonomi dalam perkembangan hukum di Indonesia
telah tampak, meskipun masih belum sebagaimana yang diharapkan. Kajian yang
semakin sadar dan berkesinambungan tentunya akan lebih memberikan manfaat bagi
perancangan sistem hukum, pembentukan, penerapan dan enforcement peraturan
perundang-undangan, mengingat sebagaimana perkembangan di Amerika Serikat,
pendekatan ekonomi atas hukum telah menggejala di setiap bidang hukum.
Implementasi Dalam Hukum Bisnis
Guna
memperjelas pembahasan mengenai Analisis Ekonomi Atas Hukum, terutama
implementasinya dalam bidang hukum bisnis di Indonesia, maka di bawah akan
dikritisi beberapa permasalahan yang aktual yang dihadapkan dengan prinsip
efisiensi ekonomi (economic efficiency). Pemilihan prinsip efisiensi
ini berdasarkan pada kemudahannya untuk dipahami, karena tidak memerlukan
rumusan-rumusan teknis ilmu ekonomi atau rumus berupa angka-angka.
Yang
menjadi fokus perhatian adalah berkenaan dengan kemungkinan munculnya
ketidakefisienan (inefficiency) dari pembentukan, penerapan maupun enforcement
dari peraturan perundang-undangan.
Pertama
berkenaan dengan kecenderungan diwajibkannya pelibatan profesi hukum tertentu
dalam memenuhi syarat dan prosedur peraturan perundang-undangan. Hal ini
misalnya terlihat dalam Pasal 5 Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan
Fidusia (UUJF), yang mengharuskan dibuatnya pembebanan benda dengan Jaminan
Fidusia dengan akta notaris. Sutan Remy Sjahdeini memberikan komentar terhadap
pasal tersebut dengan mengatakan tidak jelasnya alasan harus dibuatnya pembebanan
benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil, mengingat di dalam praktik selama
ini, perjanjian Fidusia cukup dibuat dengan akta di bawah tangan.
Bilamana
keharusan tersebut dihubungkan dengan kewajiban selanjutnya berupa pendaftaran
di Kantor Pendaftaran Fidusia, tentunya juga masih dapat dipertanyakan
kemanfaatan pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia secara notariil tersebut
dibandingkan dengan pembebanan secara di bawah tangan. Secara ekonomis
pembebanan secara notariil akan sangat memberatkan para debitor, terutama bagi
debitor pengusaha lemah. Bahkan terjadi dalam praktik sekarang ini, walaupun
mengenai biaya pembuatan akta telah diatur dengan Peraturan Pemerintah, namun
karena tidak ada pilihan lain kecuali memakai jasa notaris yang ijin prakteknya
di daerah yang bersangkutan, maka notaris tersebut dapat secara sewenang-wenang
untuk menetapkan besarnya biaya pembuatan akta.
Sebelumnya
berdasarkan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT)
ditetapkan juga bahwa pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta
Pembebanan Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Alasan
penerapan ketentuan ini adalah bahwa PPAT merupakan pejabat umum yang berwenang
membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan
hak atas tanah, yang bentuk aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak di daerah kerjanya.
Terhadap
ketentuan UUHT inipun disampaikan kritik yang sama berkenaan dengan pembebanan
yang secara ekonomis memberatkan debitor pengusaha lemah. Menanggapi hal
tersebut melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan
Nasional No. 4 Tahun 1996 tentang Penetapan Batas Waktu Penggunaan Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan Untuk Menjamin Pelunasan Kredit-kredit Tertentu,
pemerintah memberikan kemungkinan bagi SKMHT jenis kredit tertentu berlaku
sampai berakhirnya masa berlakunya perjanjian pokok yang bersangkutan.
Kecenderungan
tersebut juga terlihat dalam Rancangan Undang-undang Perkreditan Perbankan
(RUU-PP) yang dibuat oleh DPR, yang menetapkan bahwa akta perjanjian kredit
dibuat di hadapan notaris.xi Oleh karena itu terdapat pandangan sinis
di masyarakat dengan menyebutkan peraturan perundang-undangan yang memuat
ketentuan seperti itu sebagai hasil dari ‘Notaris Connection”.
Kritik
inefisiensi terhadap notaris sebagaimana dibahas di atas juga menimpa profesi
hukum lain, yakni penasehat hukum. Pasal 5 Undang-undang Kepailitan, menetapkan
bahwa permohonan berkenaan dengan proses kepailitan harus diajukan oleh seorang
penasehat hukum yang memiliki izin praktek (dalam hal ini izin praktek
pengacara kepailitan). Permohonan tersebut antara lain berupa permohonan
pernyataan pailit, permohonan sita jaminan dan penunjukan kurator, permohonan
Kasasi, pengajuan Memori Kasasi, permohonan Peninjauan Kembali, permohonan
penangguhan sementara, pengangkatan penangguhan dan perubahan syarat-syarat
penangguhan, tuntutan pembatalan perdamaian, serta permohonan rehabilitasi di
bidang kepailitan. Alasan diwajibkannya penggunaan penasehat hukum yang
memiliki izin praktek tersebut, memang masuk di akal bilamana dihubungkan
dengan singkatnya waktu yang diperlukan dalam proses acara kepailitan serta
diperlukannya spesialisasi dan professionalitas pengacara kepailitan. Namun
ditinjau dari perspektif adanya pembatasan bagi kalangan tertentu untuk ikut
dalam ujian kepengacaraan, seperti kalangan internal corporate lawyer BUMN,
maka secara ekonomis bagi perusahaan-perusahaan BUMN, Pasal 5 Undang-undang
Kepailitan akan sangat memberatkan. Hal tersebut terjadi karena dianggapnya
pegawai BUMN sebagai Pegawai Negeri Sipil, sehingga tidak diperkenankan ikut
dalam ujian kepengacaraan. Padahal bilamana internal corporate lawyer BUMN
diperkenankan memiliki sertipikat pengacara kepailitan, maka proses acara
kepailitan tidak perlu diwakili oleh external corporate lawyer yang
berbiaya tinggi.
Kedua
berkenaan dengan ketidakefisienan dalam pembentukan lembaga-lembaga pendukung
di bidang hukum bisnis. Misalnya pembentukan Komisi Pengawas Persaingan Usaha
(KPPU)xii, Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN)xiii,
dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)xiv yang dilakukan
secara terpisah dan berdiri sendiri-sendiri pada gilirannya akan menimbulkan
pemborosan. Segala biaya untuk pelaksanaan tugas lembaga-lembaga tersebut
dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Padahal di Amerika
Serikat sendiri sebagai negara pelopor persaingan usaha sehat dan perlindungan
konsumen, tugas sebagaimana dibebankan kepada KPPU, BPKN dan BPSK dicakup atau
merupakan tugas satu lembaga yang bernama Federal Trade Commission (FTC).
Sebagai bahan perbandingan di bawah ini dikutipkan posisi dan tugas FTC antara
lain sebagai berikut :
Berdasarkan
pembahasan tersebut, maka pendekatan ekonomi relevan dikemukakan berkenaan
dengan gagasan pembentukan lembaga penunjang hukum bisnis, sehingga nilai
efisiensi dari pembentukan lembaga tersebut dapat dimaksimalisasi.
Contohnya
bilamana suatu lembaga yang digagas, tugas-tugasnya mendekati atau dapat
dibebankan kepada lembaga yang sudah ada, maka tidak perlu membentuk lembaga
baru.
Permasalahan
lain yang dapat menimbulkan inefisiensi adalah ketidakharmonisan antara satu
peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam
hal ini dapat dikemukakan misalnya adanya ketentuan hukum yang menyimpang dari
prinsip pokok pengembangan lembaga non-litigasi, terutama kewajiban pengadilan
untuk menolak perkara dimana para pihak sendiri telah memilih penyelesaian
secara non-litigasi.
Ketentuan tersebut tampak pada ketentuan Pasal 45 ayat (4)
Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yakni yang
mengatur sebagai berikut :
“Apabila
telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan
melalui pengadilan hanya ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak
berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.”
Pasal
seperti ini tidak memberikan kepastian hukum. Seyogyamya bila upaya
penyelesaian di luar pengadilan telah dipilih oleh para pihak, upaya tersebut
harus dilalui sebagaimana mestinya, dan pengadilan wajib untuk menolak
gugatannya.
Ketentuan
Pasal 3 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, menetapkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Contoh
lain ketidakharmonisan antar peraturan perundang-undangan yang dapat
menimbulkan inefisiensi adalah mengenai wajib simpan dokumen perusahaan. Pasal
11 ayat (1) Undang-undang No. 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan,
bertujuan untuk mereformasi Pasal 6 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dengan
mengurangi jangka waktu kewajiban menyimpan dokumen perusahaan yang tadinya 30
(tiga puluh) tahun menjadi 10 (sepuluh) tahun. Namun berhadapan dengan
ketentuan mengenai daluarsa, pembaruan jangka waktu tersebut menjadi tidak
berarti. Sehingga pilihan untuk memaksimalisasi efisiensi ruang, waktu dan
biaya dalam pemeliharaan dokumen dengan kemungkinan memusnahkannya setelah
lewat waktu 10 tahun, berhadapan dengan kemungkinan kerugian yang lebih besar
yang akan timbul dari proses pembuktian di pengadilan. Apalagi bila hal tersebut
ditambah dengan kekakuan pengadilan dalam menerima bukti yang hanya berupa
bukti-bukti tertulis saja, sehingga pengalihan dokumen perusahaan dalam bentuk
paperless media yang juga dimungkinkan berdasarkan Pasal 12 Undang-undang
Dokumen Perusahaan akan semakin memperburuk kondisi inefisiensi.
Penutup
Dengan
memaparkan perkembangan Analisis Ekonomi Atas Hukum, serta melibatkannya dalam
kebijakan dan praktik hukum di Indonesia, maka menjadi lebih terbuka
kemungkinan perubahan paradigma serta lebih banyak alternatif pemikiran yang
dapat disumbangkan dalam pengkajian hukum di Indonesia. Tulisan ini merupakan
pengantar bagi studi yang lebih jauh terhadap Analisis Ekonomi Atas Hukum,
namun demikan pada tingkatnya yang sangat minimal telah dapat memunculkan salah
satu kritik penting berkenaan dengan masalah economic efficiency yang secara
tidak sadar ada dalam perkembangan hukum bisnis di Indonesia. Oleh karena itu
relevan kiranya untuk masa yang akan datang, memfungsikan model Analisis
Ekonomi Atas Hukum disamping model teori hukum lain ke segenap proses hukum di
Indonesia, baik dalam tingkat pembentukan, penerapan atau penegakan hukum dan
dalam menganalisis doktrin serta menguji keabsahan suatu sistem sosial dan
kebijakan-kebijakan tertentu.
Contoh
Kasus Ekonomi Yang Berkaitan Dengan Hukum :
Inilah 10
Kejanggalan Kasus Gayus
JAKARTA, KOMPAS.com —
Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat setidaknya ada 10 fakta kejanggalan
yang terjadi dalam pengungkapan skandal mafia pajak dengan tersangka pegawai
pajak Gayus HP Tambunan. Kejanggalan ini baik dari segi kasus hingga para
penegak hukum.
Peneliti hukum ICW Donald Faris, Minggu
(21/11/2010), di kantor ICW, Jakarta, mengungkapkan 10 kejanggalan tersebut.
Inilah kejanggalan dan analisa versi ICW.
Pertama, Gayus dijerat pada kasus PT SAT dengan kerugian negara Rp 570.952.000,
dan bukan pada kasus utamanya, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar, sesuai
dengan yang didakwakan pada Dakwaan Perkara Pidana Nomor
1195/Pid/B/2010/PN.JKT.Sel.
"Pemilihan kasus PT SAT diduga merupakan
skenario kepolisian dan kejaksaan untuk menghindar dari simpul besar kasus
mafia pajak yang diduga menjerat para petinggi di kedua institusi tersebut.
Kasus PT SAT sendiri amat jauh keterkaitannya dengan asal muasal kasus ini
mencuat, yaitu kepemilikan rekening Rp 28 miliar milik Gayus," kata
Donald.
Dikatakan Donald, pernyataan ini sulit dibantah
karena secara faktual beberapa petinggi kepolisian, seperti Edmon Ilyas,
Pambudi Pamungkas, Eko Budi Sampurno, Raja Erizman, dan Kabareskrim dan
Wakabareskrim, hingga kini tidak tersentuh sama sekali. Padahal, dalam
kesaksiannya, Gayus pernah menyatakan pernah mengeluarkan uang sebesar 500.000
dollar AS untuk perwira tinggi kepolisian melalui Haposan. Tujuannya, agar
blokir rekening uangnya dibuka.
Kedua, Polisi menyita save deposit milik
Gayus Tambunan sebesar Rp 75 miliar. Namun, perkembangannya tidak jelas hingga
saat ini. "Hingga saat ini, keberlanjutan pemeriksaan atas rekening lain
milik Gayus dengan nominal mencapai Rp 75 miliar menjadi tidak jelas. Polisi
terkesan amat tertutup atas rekening yang secara nominal jauh lebih
besar," kata Donald.
Ketiga, kepolisian masih belum memproses secara
hukum tiga perusahaan yang diduga menyuap Gayus, seperti KPC, Arutmin, dan Bumi
Resource. Padahal, Gayus telah mengakui telah menerima uang 3.000.000 dollar AS
dari perusahaan tersebut.
"Kepolisian seolah tutup kuping dari kesaksian
Gayus di persidangan terkait kepemilikan rekening Rp 28 miliar yang berasal
dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource. Hingga saat ini kepolisian belum
memproses ketiga perusahaan tersebut. Padahal, Gayus sudah menyatakan bahwa dia
pernah membuat Surat Pemberitahuan Pajak Pembetulan tahun pajak 2005-2006 untuk
KPC dan Arutmin. Alasan kepolisian belum memproses kasus ini adalah belum cukup
alat bukti. Alasan ini dinilai ICW mengada-ada. Kesaksian Gayus di persidangan
dinilai sudah cukup menjadi sebuah alat bukti yang sah di mata hukum,"
kata Donald.
Keempat, Kompol Arafat dan AKP Sri Sumartini sudah
divonis bersalah. Namun, petinggi kepolisian yang pernah disebut-sebut
keterlibatannya oleh Gayus belum diproses sama sekali. "Pihak kepolisian
melokalisir kasus ini hanya sampai perwira menengah. Baik Kompol Arafat maupun
AKP Sumartini seolah dijadikan tumbal dalam kasus tersebut. Padahal, mereka
hanyalah pemain kecil dan tidak berkedudukan sebagai pemegang keputusan. Polri
terkesan melindungi keterlibatan para perwira tinggi," kata Donald.
Kelima, Kepolisian menetapkan Gayus, Humala
Napitupulu, dan Maruli Pandapotan Manulung sebagai tersangka kasus pajak PT
SAT. Namun, penyidik tak menjerat atasan mereka yang sesungguhnya memiliki
tanggung jawab yang lebih besar. "Hal ini merupakan bagian dari konspirasi
tebang pilih penegak hukum kepada pelaku kecil dan tidak memiliki posisi daya
tawar yang kuat. Selain ketiga tersangka tersebut, berdasarkan SK Direktorat
Jenderal Pajak No: KEP-036/PJ.01/UP.53/2007, paling tidak ada dua nama yang
seharusnya juga bertanggung jawab, yaitu Kepala Subdirektorat Pengurangan dan
Keberatan Johny Marihot Tobing dan Direktur Keberatan dan Banding Bambang Heru
Ismiarso," kata Donald.
Keenam, pada 10 Juni 2010 Mabes Polri menetapkan
Jaksa Cirus Sinaga dan Poltak Manulang sebagai tersangka kasus suap dalam kasus
penggelapan pajak yang dilakukan Gayus. Namun, tiba-tiba, status Cirus berubah
menjadi saksi. "Perubahan status ini dicurigai sebagai bentuk kompromi
penegak hukum untuk menjerat pihak-pihak yang sebenarnya diduga terlibat.
Hal ini amat mungkin terjadi karena dimensi kasus
Gayus yang amat luas hingga pada petinggi kepolisian," kata Donald.
Ketujuh, Kejagung melaporkan Cirus ke kepolisian
terkait bocornya rencana penuntutan. Namun, hal ini bukan karena kasus dugaan
suap Rp 5 miliar dan penghilangan pasal korupsi serta pencucian uang dalam
dakwaan pada kasus sebelumnya. "Di satu sisi, langkah Kejagung ini
menimbulkan pertanyaan, kenapa yang dilaporkan adalah kasus bocornya rentut,
bukan kasus penghilangan pasal korupsi dan pencucian uang. Langkah ini diduga
sebagai siasat untuk melokalisir permasalahan dan mengorbankan Cirus seorang
diri," kata Donald.
Kedelapan, Dirjen Pajak enggan memeriksa ulang
pajak perusahaan yang diduga pernah menyuap Gatys karena menunggu novum
baru. Padahal, menurut Donald, pernyataan Gayus perihal uang sebesar 3.000.000
dollar AS diperolehnya dari KPC, Arutmin, dan Bumi Resource, bisa dijadikan
sebuah alat bukti karena disampaikan dalam persidangan.
Kesembilan, Gayus keluar dari Mako Brimob ke Bali dengan
menggunakan identitas palsu. Menurut Donald, hal ini menunjukkan dua
kejanggalan. Pertama, kepolisian tidak serius mengungkap kasus Gayus hingga
tuntas sampai ke dalang sesungguhnya. Kepolisian juga belum tuntas untuk
mencari persembunyian harta Gayus sehingga konsekuensinya dia begitu mudah bisa
menyogok aparat penegak hukum. Kedua, Gayus memiliki posisi daya tawar yang
kuat kepada pihak-pihak yang pernah menerima suap selama dia menjadi pegawai
pajak.
Kesepuluh, Polri menolak kasus Gayus diambil alih
KPK. Padahal, kepolisian terlihat tak serius menanggani kasus tersebut.
Penolakan ini telah terjadi sejak Maret 2010. Saat itu, Kadiv Humas Polri
Brigjen Edward Aritonang mengatakan, Polri masih sanggup menangani kasus
tersebut. "Nyatanya, Gayus malah berpelesir ke Bali," katanya.
Sumber
: http://mhugm.wikidot.com/artikel:004
Sumber
: http://nasional.kompas.com/read/2010/11/21/14192130/Inilah.10.Kejanggalan.Kasus.Gayus